Bukan hanya Baharuddin saja. Beberapa warga Pulau Barrang Lompo lainnya juga bekerja mencari teripang. Dulu, jumlahnya banyak. Kini, sudah menyusut drastis.
“Sampai sekarang pendataannya ada sekitar 14 orang. Yang asli penduduk sini ada enam orang. Tapi ada yang pernah lumpuh kemudian turun lagi menyelam. Jadi karena itu juga sulit sembuh cepat,” kata Nurliah (45)
Sebagai koordinator perawat di Puskesmas Barrang Lompo, Lia sering menyaksikan penderitaan korban. Dia sempat pula beberapa kali melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan. Kadang-kadang korbannya tewas di tempat sebelum ditolong.
“Pertama kena mereka biasa tidak sadar sampai dibawa ke sini. Oksidasi tidak bisa dilakukan karena keluar darah dari mulut. Kita coba pasang kateter dan infus. Kalau kena kelumpuhan jarang mereka mau dibawa ke rumah sakit,” ucap Lia.
Menurut Lia, penanganan lanjutan jika kateternya sudah bisa dilepas, penderita lumpuh harus banyak berlatih untuk bisa berjalan normal kembali. Kalau rutin latihan jalan, mudah-mudahan bisa sembuh kendati makan waktu lama.
Lia menduga, para penyelam itu kelebihan mengisap gas nitrogen dari kompresor yang menjadi alat bantu pernapasan mereka di dalam laut. Gejalanya bisa seperti berhalusinasi. Ada penyelam yang hingga naik ke darat terus merasa dicekik hantu di bawah laut sana.
“Selain kompresor hanya pakaian seadanya, memakai sepatu bebek saja,” tukas juragan pemilik dua kapal, Effendi (32).
Fendi menambahkan, tidak ada cara lain menangkap teripang di dasar laut kecuali menyelaminya pada kedalaman rata-rata 20 meter. Timun laut itu berharga mahal sekira Rp100 ribu per kilogram.
Dituturkan, seorang penyelam yang pergi melaut selama 20 hari – kalau mujur – bisa membawa pulang sedikitnya Rp4 juta. Tapi, kalau sial, pulangnya menyandang kelumpuhan. Seperti derita Bahar yang belum kunjung sembuh total. (HABIS)
Diilansir oleh Okezone.com
EmoticonEmoticon